SORRY
Bagian dari alternate universe Please, Love Me
Biasanya Jeongguk akan menjemput Jimin dan Charlotte untuk berangkat bersama ketika ada acara, namun kali ini tidak. Musisi bermarga Jeon itu memilih berangkat sendiri dan menemui Charlotte di sekolah. Ia sadar, tidak seharusnya bertingkah seperti ini untuk menghindari Jimin, namun tak dapat dipungkiri bahwa hatinya masih terasa sakit jika mengingat luka yang diberikan si model Park.
Setibanya di sekolah, Jeongguk segera memeluk erat putri semata wayangnya. Ia mencoba mengatur ekspresinya agar terlihat seperti biasa agar putrinya itu tak curiga. Pun, Jimin tetap bersikap biasa saja seakan tak terjadi apa-apa antara dia dan Jeongguk.
Jimin dan Jeongguk diminta duduk bersebelahan di barisan paling depan, mengingat mereka adalah salah satu selebritis terkenal di Amerika Serikat. Mengenai Charlotte, anak yang akan berumur enam tahun itu sudah berkumpul bersama teman-temannya untuk bersiap melalukan paduan suara.
“Daddy, Papi!” Charlotte menggerakkan mulutnya tanpa suara dengan tangan yang melambai ke arah orang tuanya. Anak itu sedang bersiap untuk naik ke panggung.
“Cheer up, princess!” Jeongguk berkata tanpa suara dengan tangan yang mengepal ke atas sebagai kode untuk memberikan semangat. Sementara Jimin tersenyum manis dan mengangguk kecil ke arah putrinya.
Charlotte bersama teman-temannya naik ke panggung, kemudian menyanyikan lagu yang diajarkan oleh guru. Para wali murid dan guru bersorak sembari bertepuk tangan untuk mereka, tak terkecuali Jeongguk.
“Charlotte! Well done, princess! Good job, baby!” teriak Jeongguk saat Charlotte sudah tampil dan turun dari panggung. Sepersekian detik kemudian, Jeongguk menyadari melalui ekor matanya bahwa Jimin tak seceria biasanya. Wajah Jimin terlihat lesu, padahal pria Park itu selalu ceria jika menyangkut Charlotte.
Jeongguk memilih menggeleng kecil, ia tak mau ambil pusing mengenai keadaan Jimin, pun enggan untuk bertanya. Mungkin saja Jimin hanya sedang lelah, pikir Jeongguk.
“Daddy, papi!” Charlotte memekik ceria kala menghampiri Jeongguk dan Jimin.
“Yes, my princess!” Jeongguk mengangkat tubuh Charlotte, kemudian membawa putrinya itu agar duduk di pangkuannya untuk mengikuti acara yang sebentar lagi selesai.
“Papi, gimana penampilan Charlotte?” tanya Charlotte pada Jimin.
Jimin tersenyum, ia membawa tangannya untuk mengelus wajah Charlotte. “Well done, baby,” responnya. “Anak papi emang paling cantik. Paling hebat,” lanjutnya yang membuat Charlotte tersenyum.
“And you, dad. What do you think about my performance?”
“Like i said before, good job, baby.” Jeongguk mengelus surai Charlotte sembari menghujani kecupan di wajah putrinya. Charlotte memekik riang usai mendengar pujian dari orang tuanya.
Beberapa puluh menit kemudian, acara telah usai. Jeongguk, Charlotte, dan Jimin segera berjalan keluar dari gedung untuk bersiap pulang.
“Malam ini bobo bertiga yuk? Udah lama kita gak bobo bertiga.” Charlotte mengutarakan keinginannya.
“Bole—” Jimin tak dapat menyelesaikan perkataannya kala Jeongguk mendahului.
“Princess, daddy lagi sibuk banget. Maaf ya, gak bisa.”
“Yahhh, dad. Charlotte kangen sama daddy. Udah lama gak bobo sama daddy.” Charlotte menekuk bibirnya sembari menunjukkan ekspresi sedihnya kepada Jeongguk yang menggendongnya.
“Sayang, daddy sibuk banget. Gak bisa bobo bertiga.”
“Daddy ke studio? Charlotte ikut daddy aja ke studio. Lagian besok libur. Charlotte kangeeeennn banget sama daddy.”
Jeongguk menghela nafas, sebenarnya ia sendiri juga merindukan momen untuk bersama Charlotte.
“Oke, Charlotte malam ini sama daddy ya. Pulang ke rumah daddy. Bobo berdua. Oke?”
“Kok berdua? Gak sama papi, dad?”
“Jade, bawa Charlotte ke mobil duluan.” Jimin sudah geram. Ia menarik tubuh Charlotte dari gendongan Jeongguk secara paksa, kemudian memberikannya pada Jade.
“Charlotte, ikut Jade sama Roseanne dulu ya. Papi mau ngomong penting sama daddy,” ucap Jimin pada Charlotte yang mengangguk pelan dengan wajah bingung. Jade—disusul Roseanne—pun segera menggendong Charlotte untuk pergi lebih dulu sesuai perintah Jimin.
“Stop being childish, Justin!” Jimin sedikit membentak ketika di sekitarnya dan Justin sudah sepi.
“Please act normal in front of Charlotte, can’t you?”
Kedua tangan Jimin mengepal erat lantaran Jeongguk hanya diam bahkan enggan menatapnya.
“Mau kamu apa sih? Kamu mau aku minta maaf masalah di The Forum? Oke, aku minta maaf. Udah. Jangan memperbesar masalah. Jangan sampai Charlotte ngerasa aneh. Bisa gak?”
“Jeongguk, jawab aku!” Jimin berteriak marah karena Jeongguk justru kembali melangkahkan kaki, benar-benar mengabaikannya.
“Justin Jeon!” Jimin sudah murka karena tak diacuhkan oleh Jeongguk. Ia berlari kecil untuk menghadang langkah Jeongguk, kemudian melayangkan satu tamparan keras di pipi ayah dari anaknya tersebut.
“Fucking answer me! Jangan diam aja! Aku ngajak kamu ngomong, Jeongguk!”
Sayangnya Jimin harus masih dibuat murka karena Jeongguk masih diam, alih-alih kembali melangkahkan kaki untuk pergi dengan langkah lebih cepat.
Dada Jimin kembang-kempis, ia mencoba mengontrol emosinya agar tak mengundang perhatian publik. Rahangnya mengeras, sangat marah karena Jeongguk yang tak mau meresponnya sama sekali. Ia berjalan untuk mengejar langkah Jeongguk sampai akhirnya mereka tiba di parkiran mobil.
“Bilang ke dia, Charlotte gue bawa nginep di rumah gue,” ucap Justin pada Jade, meskipun begitu Jimin bisa mendengar.
“U-uh? Tapi papi—”
“Charlotte malam ini sama daddy.” Jeongguk berucap tegas. Tanpa berpamitan pada Jimin, Jeongguk segera masuk ke dalam mobil, tak memerdulikan Charlotte yang merengek karena berpisah dengan papinya.
“Christian, kenapa lo diem aja?” Jade bertanya pada Jimin yang tak merespon apapun mengenai kepergian Charlotte bersama Jeongguk.
“Gue capek, Jade.”
Jade menghela nafas secara kasar, tangannya bergerak untuk mengelus punggung Jimin. “Ya udah, ayo pulang. Lo harus istirahat. Tadi pagi lo muntah-muntah parah banget soalnya.”
Jade segera menuntun Jimin untuk masuk ke dalam mobil dan pulang.
☆ ☆ ☆
Selama perjalanan pulang, Charlotte terlihat sangat murung dan hanya diam. Jeongguk menghembuskan nafasnya secara kasar, kemudian membawa Charlotte duduk ke pangkuannya.
“Maafin daddy, ya? Daddy gak bisa ajak papi—”
“D-dad, what happen between you and papi?” tanya Charlotte dengan nada yang bergetar sebab air matanya telah berjatuhan. “Bertengkar lagi, ya?” tanyanya lagi.
Lidah Jeongguk terasa kelu, sehingga ia tak sanggup menjawab pertanyaan Charlotte, alih-alih memberikan pelukan erat pada putrinya tersebut. Ia menggerakkan tangannya untuk mengelus punggung Charlotte yang tengah terisak.
Ini bukanlah pertama kalinya Charlotte menangisi keadaan orang tuanya di hadapan Jeongguk.
Ya, tanpa Jimin ketahui, Charlotte sering melihatnya bertengkar bersama Jeongguk. Charlotte pun hanya berani bertanya pada Jeongguk lantaran anak kecil itu berpikir bahwa memang Jimin bersalah berdasarkan percakapan pertengkaran orang tuanya yang didengarnya. Meskipun begitu, Charlotte tetap menyayangi Jimin dan selalu ingin bersama papinya tersebut.
“Daddy, Charlotte sedih. Kenapa kita kayak gini? Charlotte iri sama keluarganya James yang selalu bersama dan bahagia.”
Jeongguk menggigit bibirnya, berusaha keras untuk menahan isakannya. Tangannya tak henti untuk mengelus punggung si kecil. “Maafin daddy, ya? Daddy salah. Maafin daddy.”
Charlotte menggeleng, kedua tangan kecilnya terangkat untuk menangkup wajah ayahnya.
“Enggak. Daddy gak salah. Daddy gak salah. Daddy jangan nangis.” Charlotte menghapus air mata yang mengalir di wajah ayahnya.
Tangisan Jeongguk semakin pecah usai mendapatkan perlakuan manis dari Charlotte. Ia tak sanggup berkata-kata, sehingga hanya bisa memeluk erat tubuh mungil putrinya. Keduanya berpelukan dan terisak dalam diam. Tentunya membuat Roseanne serta supir di depan ikut sedih mendengarkan isakan ayah dan anak di kursi belakang.
Bersambung...